Kecantikan dan Perempuan dalam Jerat Budaya Konsumtif
Slogan 'Lapar dalam suasana glowing' sejumlah minggu ini menjadi slogan yang ramai diperbincangkan dalam media daring. Sebagai seorang mahasiswi yang hidupnya bergantung dari belas kasih orangtua, slogan ini lumayan 'lucu-lucu menggelitik' guna direfleksikan.
Bagaimana tidak, hasil industri keelokan dan kosmetik yang di dalamnya merangkum produk make-up dan perawatan kulit atau skin care sudah bergeser posisinya dari hierarkikeperluan yang 'nggak penting-penting banget' menjadi keperluan wajib untuk setiapmanusia manusia, terutama perempuan; tergolong saya.
Jika diistilahkan, keperluan primer wanita Indonesia di era milenial ini sudahberpindah dari sandang, pangan, papan, menjadi sandang, pangan, papan dan perawatan.
Berdasarkan data secara global yang diluncurkan oleh GlobalData (2018), Asia Pasifikmenduduki posisi kesatu sebagai distrik dengan industri kosmetik dan toiletries tertinggi yang menjangkau persentase sebesar 36.7% dunia.
Lebih spesifiknya, hasil industri kosmetik dan toiletries di Asia Pasifik terbanyak datang dari produk skincare yang mengalami eskalasi sebanyak 5.6%, dibuntuti dengan produk perawatan rambut yang naik sejumlah 5.4% dan make-up dengan persentase eskalasi sebanyak 4%.
Pada ranah nasional, Kementerian Perindustrian di mula tahun 2018 merilis sebuahtulisan yang isinya tentang pertumbuhan industri kosmetik nasional yang terdaftar naiksejumlah 20% atau empat kali lipat dari perkembangan ekonomi nasional di tahun 2017. Pertumbuhan industri kosmetik yang meningkat pasti berbanding lurus dengan permintaan pasar yang besar terhadap produk-produk keelokan dan kosmetik di Indonesia.
0 komentar
Posting Komentar